Pagi
lagi. Entah ini pagi keberapa aku melewatinya dengan terburu-buru. Seolah bumi
berputar lebih cepat dan bulan juga turut berkonspirasi untuk mempercepat
revolusi. Matahari sudah muncul di ufuk timur, belum sempurna memang, tapi
cukup membuat kamarku yang berukuran 3×3 meter bermandikan cahaya matahari yang
hangat. Kokok ayam jago yang selalu membangunkan orang untuk sholat malam masih
saja setia berkumandang, tak peduli apakah kokoknya didengar orang atau malah
diabaikan. Ah pengabdian memang.
Aku,
Zahratun Nisa, gadis 18 tahun yang tengah mengenyam pendidikan di Universitas
Gajah Mada Yogyakarta jurusan teknik arsitektur semester 3. Anak ketiga dari
lima bersaudara. Ayahku seorang kontraktor di Semarang, dan ibuku seorang ibu
rumah tangga yang juga membuka usaha toko cake and bakery di Semarang.
Aku memang dilahirkan dalam keluarga yang cukup menyenangkan. Kakak pertamaku
sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di Jepang, kakak keduaku baru saja
wisuda tahun kemarin, dan dua orang adikku masih menempuh pendidikan di SMP dan
SMA. Aku bersyukur sekali dengan komposisi keluarga yang ramai, karena
terkadang ada beberapa dari kita yang tidak bisa merasakan apa itu keluarga.
Pagi
ini, seperti biasa. Aku selalu rempong dengan urusan kuliah dan organisasiku.
Entah karena faktor golongan darahku yang menakdirkan penganutnya rempong atau
memang keturunan dari ibu yang juga tak kalah rempong. Yang pasti pagi ini aku
sudah berhasil membuat keributan dalam 1 wisma.
“Alin!
Kerudung biru mudaku mana?!” teriakku kencang. Satu tanganku sibuk mencari baju
di lemari, tanganku yang lainnya sedang terhubung dengan telpon dari rumah.
“Cari
aja Ra di lemari! Lagi nyuci ni!” teriak Alin tidak kalah kencang, tapi bagiku
suaranya yang lembut masih kalah jauh dengan suaraku yang garang.
Aku
segera mengambil langkah seribu menuju kamar Alin. Ini salah satu kebiasaan di
wisma yang kurang aku suka. Mereka enak sekali meminjam barang orang tanpa
langsung dikembalikan, gerutuku dalam hati.
“
Ga ada lin! Buruan ah! Aku ada asistensi ni!” kembali teriakanku memenuhi
lorong-lorong wisma. Mungkin kalau penghuni wisma berani, aku bakal kena timpuk
saru rumah. Beruntungnya, aku cukup ditakuti di wisma karena sifat galakku.
“
Pokoknya cari aja di lemari tumpukan bawah Rara! Kamu ga liat aku lagi nyuci
gini!” Alin balas berteriak kencang. Sepertinya dia sudah bekerja keras untuk
mengeluarkan seluruh kemampuan suaranya untuk menandingi suaraku.
30
menit berkutat dengan keributan khas anak kos, akhirnya aku langsung menuju
kampus yang jaraknya hanya sekitar 10 menit dari wisma.
Kampus
UGM yang kata beberapa lembaga dinobatkan menjadi kampus terbaik kedua di
Indonesia terlihat sangat ramai. Mahasiswa dari segala penjuru Indonesia,
bahkan luar negeri datang dengan satu irama dan tujuan, mencapai cita-cita
mereka. Rasanya menakjubkan sekali melihat pemandangan sederhana ini, kampus
seolah-olah seperti matahari, dimana sekitarnya secara konsisten beredar
mengelilinginya.
Gedung
arsitek yang tua namun kuat menjulang gagah. Cat dindingnya masih bagus, tidak
mengelupas layaknya kampus tua, gedung 3 lantai ini juga masih terlihat gagah
walaupun sudah bertahun-tahun menelurkan arsitek handal di Indonesia, dan yang
paling aku suka dari kampusku adalah tamannya yang asri dan sejuk. Mungkin ini
spot ternyaman se-UGM, banyak pohon yang dilengkapi dengan batu menhir sebagai
tempat nongkrong mahasiswa, ada juga taman kecil yang dipercantik dengan kolam
ikan.
“
Ra!”
Aku
menoleh kaget.
“
Hei ukhti…assalammu’alaikum..” aku sambut panggilan Nayla dengan salam.
Kerudung ungunya terlihat berkibar terkena angin, bulan ini Jogja memang selalu
berangin.
“
Wa’alaikumsalam. Ra…kabar buruk. Acara departemenmu terancam batal.” Nayla
bercerita dengan nafas tersengal-sengal. Wajah putihnya terlihat berkeringat,
mungkin akibat lari-lari pagi yang baru saja dia lakukan. Tangannya memegang
lutut seperti posisi ruku’ ketika sholat, dia kelelahan.
“
Batal gimana?” tanyaku heran sekaligus kaget.
Belum
sempat Nayla menjelaskan, tiba-tiba Galih menyela dengan gayanya yang juga
tidak kalah heboh dengan Nayla. Rambutnya kali ini tidak klimis seperti
biasanya, ah dia merubah tatanan rambutnya, lebih gaul, pikirku. Kacamata frame
hitam kesukaannya selalu bertengger di wajahnya, dan dia masih seperti Galih
yang kukenal, ceria seolah tidak ada beban.
“
Ra…udah tau belum? Acaramu terancam batal.” Galih memulai laporannya.
“
Tunggu deh..ini apaan ya…kalian berdua kompak gini bilang acaraku batal. Memang
kenapa?” kali ini aku lebih heran lagi. dua makhluk yang tiba-tiba mengagetkan
pagiku yang ‘damai’.
“
Di bulan yang sama ternyata dosen juga ada acara nasional ra…yaudah gini aja,
sekarang kamu tenang dulu aja, nanti dibicarain lagi.” Galih mencoba
menenangkan.
“Batal gimana si? Aku penasaran lih…crita dong!” aku memaksa.
Galih akhirnya menceritakan perihal acara departemenku yang terancam
batal. Aku saat ini ada di organisasi himpunan mahasiswa jurusan arsitek
sebagai ketua departemen pendidikan. Tahun ini kami mempunyai proyek seminar
nasional di bulan Oktober, tapi ternyata yang seperti Galih katakan, acaraku
terhalang acara dosen yang hampir sama dan di bulan yang sama.
Galih, laki-laki 18 tahun, ketua himpunan kami. Sejak aku satu organisasi
dengannya, hubungan kami semakin akrab. Tapi hanya sebatas kerja saja. Galih,
dia ikhwan yang sholeh, aku tahu kesolehannya dari kebiasaan dia ke masjid
setiap Shubuh dan Isya. Kebetulan wisma kami berdekatan. Dan aku, aku akhwat,
aku sudah dari SMA menjadi ADS (Aktivis Dakwah Sekolah) dan saat ini aku
menjadi ADK (Aktivis Dakwah Kampus) di ranah eksekutif.
Nayla,
dia sahabatku dari semester satu. Entah bagaimana alam berkonspirasi denganNya,
aku selalu ditadirkan bersama dia terus, dari kelas, dosen wali, bahkan
organisasi. Nayla posisinya adalah wakil ketua Galih, tentu saja, kedekatan
mereka melebihi kedekatanku dengan Galih. Ah…tapi aku percaya. Aku, Galih, dan
Nayla sama-sama sudah paham akan hubungan ikhwan dan akhwat. Jadi aku tak
pernah mempermasalahkan kedekatan satu sama lain.
Sudah
setengah tahun kami menjalani masa kepengurusan di himpunan. Sudah banyak sekali
cerita yang kami dapat dari himpunan. Seperti cerita kami, antara aku dan
Nayla, yang entah benar atau salah, aku menangkap Nayla menciptakan cerita
cintanya di himpunan.
Awalnya
rumit. Aku bahkan tidak tahu kapan persisnya aku merasakan cerita cinta itu
dimulai. Namun yang kurasakan, aku selalu menangkap perasaan bahagia Nayla
ketika menceritakan tentang dia. Pendapatnya yang selalu sama dengan pendapat
dia, aku bahkan sampai berpikir jangan-jangan Nayla memang hanya mengekor
pendapatnya, selalu setuju dan tidak bisa berkata tidak. Ah ini menyebalkan
bagiku. Sangat menyebalkan. Bukan karena cerita cintanya, tapi karena dia
seolah-olah tidak mempunyai pemikiran sendiri.
“Ra…gimana
urusan seminarmu itu?” tanya Nayla tiba-tiba membuyarkan konsentrasiku mengerjakan
maket. Nayla juga terlihat sibuk dengan maket proyek hotel yang dia rancang.
Saat ini kami sedang duduk di pojok taman, bangku menhir, faforit kami berdua.
“
Hmm…ya gitu deh Nay…males aku critanya. Ribet.” Aku tetap fokus dengan maketku.
Sesekali aku mengelem karton yang akan aku gunakan sebagai model di maket, dan
sesekali aku melihat ke mata Nayla. Jujur, aku malas sekali bicara tentang
perkembangan acara yang hampir batal itu. Rasanya ingin sekali memberikan
ultimatum, ‘acara ini aku tutup aja gimana. Anggap aja kita ga pernah ada
kepanitiaan acara ini.titik.’
“
Terus si Galih ngurusin ga? Dia kan pulang ke Bandung.” Nayla, masih dengan
gigih mengorek informasi tentang acara itu. Ah Nayla…aku hafal sekali sifat dia
yang kepo banget sama urusan orang.
“
Galih? Dia mah nanyain terus Nay…udah kaya minum obat tu anak, nelpon sehari
mpe tiga kali.” Aku menjawab dengan cuek. Saat ini maketku lebih berharga
ketimbang acara itu dan pertanyaan Nayla.
“
Galih nelpon kamu sesering itu?” Nayla sedikit terkejut sampai-sampai dia
menghentikan pekerjaannya. Matanya menatapku serius, walaupun dia tutup dengan
‘snyuman’.
“
Iya…sampai aku ga tega sebenernya, pulsa dia suka abis kalo abis nelpon aku
Nay. Udah tak bilangin sms aja, eh malah nelpon terus. Yaudah aku mah sebodo
amat” lagi-lagi aku menjawab cuek. Peduli amat dengan Galih yang nelpon terus,
tapi ekspresi Nayla yang tiba-tiba berubah, aku peduli itu.
Diam.
Hening.
Kau
tahu? Terkadang perasaan sesama wanita itu sangat mustahil keliru. Aku sungguh
yakin, dari pembicaraan singkat kami, aku merasakan Nayla cemburu, tidak suka
Galih menelponku. Padahal jelas-jelas dia nelpon hanya membicarakan tentang
nasib seminar. Tidak lebih. Tapi aku tak mau berspekulasi banyak, untuk
perasaan aku menyerah.
***
Saat
ini, spekulasi yang tak pernah kumaksudkan atas perasaan Nayla kepada Galih aku
sembunyikan rapat-rapat. Biarlah ini menjadi konsumsi hatiku sendiri. Semenjak
pembicaraan singkat itu, entah hanya aku yang merasa terlalu berlebihan, atau
itu memang benar adanya, Nayla seperti terus memantau interaksiku dengan Galih.
Awalnya aku merasa biasa saja dengan perilakunya, tapi lambat laun aku mulai
risih. Pantauan Nayla sungguh tajam, terkadang dia bahkan membuka inbox
pesanku, mencari siapa tau Galih menghubungiku yang aneh-aneh. Aku tahu itu
karena beberapa kali dia kepergok sedang membuka SMS di hapeku. Tapi aku tidak
pernah memarahinya. Aku paham ko, mungkin dia sedang menarikku agar jangan
seperti dia.
Nayla
semakin menunjukan perasaannya ke Galih, di mataku. Mungkin hanya aku yang
merasa. Dia terlihat bahagia ketika Galih mendekat dan mengobrol dengannya, dia
sangat bingung ketika Galih marah dengannya, dan yang paling membuatku tahu,
mata Nayla, mata Nayla adalah mata orang jatuh cinta, dalam diam.
Aku
terus membiarkan perilaku Nayla.Aku bingung. Dia tidak pernah cerita tentang
perasaannya. Aku percaya dia seorang yang paham akan hubungan cinta seperti
itu, dan orang yang dia cintai juga paham. Aku percaya mereka akan bisa saling
menjaga perasannya, dalam diam. Pikirku.
Kisah
cinta diam Nayla terus bergulir. Dan rumitnya, pemainnya ternyata tidak hanya
dia dan Galih. Tapi aku.
Aku
pun tak tahu bagaimana awal kerumitan ini bermula. Yang kurasakan adalah aku
suka dengan momen ini, tapi aku tidak nyaman dengan perasaan ini. Mungkin
cerita ini muncul ketika Galih sangat menyukai caraku berbicara, kata dia aku
humoris dan bisa membawa suasana pembicaraan menjadi menyenangkan. Mungkin saat
aku merasakan “tangannya” yang terus menggenggamku erat ketika aku jatuh dan lemah
di himpunan, aku akui, dia adalah pahlawanku. Mungkin perasaan itu muncul
ketika kami sering sekali bertengkar dan tidak mau mengalah kepada ego
masing-masing, tetapi anehnya secara otomatis kami baikan 3 hari kemudian, itu
waktu tenggang bagi kami, tak ada perjanjian tertulis memang, tapi kurasa
perjanjian batin. Mungkin aku mulai seperti Nayla, mencintainya.
Kami
menyelesaikan masa kepengurusan kami di himpunan, dengan banyak cerita
tentunya. Ada dua sisi perasaan ketika aku merasakan momen ini, aku merasa
sedih karena akan kehilangan momen bersama anak-anak himpunan, dan aku bahagia
karena aku akan lebih mudah menekan perasaan aneh ini, bahkan menyelesaikan
kisah cinta ini segera, mungkin.
“
Makasih banyak ya Ra, keren kamu di sini. Semoga dakwah kita ga terhenti sampai
di sini.” Kata Galih membuatku sedikit tersentuh. Rambutnya sekarang sudah
paten berganti dengan rambut gaul, senyumnya mengembang tanda kebanggaan, dan
aku bisa merasakan sorot mata bahagia itu ketika berbicara denganku. Kalau aku
tidak lancang mengartikan tatapannya, aku rasa bunyinya, ‘makasih ya Ra, kamu
udah mbantuin banyak di HM. Semoga kita tetap bersama kaya dulu’. Ah..lancang
benar otakku.
“
Sama2 lih..afwan ya kalo banyak salah selama kita kerja bareng” aku membalas
ucapannya dengan senyum yang paling manis. Ini spontan.
“
Hahha…iya sante aja. Ane juga minta maaf. Kayaknya kita dulu sering banget
berantem ya Ra..” kali ini dia tertawa.
Dan
aku tersenyum.
***
Lepas
masa kepengurusan di himpunan, aku sempat berhenti dari organisasi internal
kampus. Aku akhirnya bergabung dengan komunitas pecinta alam di Universitas.
Keputusan masuk ke komunitas itu sungguh sulit, karena ayahku tidak mengizinkan
untuk naik gunung, dan aku adalah seorang akhwat yang pasti akan terlihat
sangat berbeda ketika masuk komunitas. Tapi tetap saja kucoba. Aku masuk dan
akhirnya diterima!
Setelah
aku masuk komunitas pecinta alam dan beberapa kali mengikuti ekspedisi gunung
di Jawa, aku kira aku dapat menekan jauh-jauh perasaan aneh yang sempat mampir
beberapa waktu di hatiku. Tapi aku salah. Ya…kisah cinta diam kami, aku dan
Galih berlanjut. Komunikasiku dengan Galih bukannya semakin menurun, tapi
justru semakin intens. Bahkan prinsip jam malamku sudah sukses dilanggar. Aku
sendiri mempunyai prinsip untuk tidak SMS atau berkomunikasi dengan lawan jenis
di atas jam 9 malam, tapi ternyata Galih menghancurkan prinsipku, dan bodohnya
aku membantunya dalam penghancuran itu. Aku sendiri merasa aneh, kami sudah
tidak ada forum yang mengharuskan kami bersama, kecuali dalam pergerakan
dakwah. Aku dan dia masih sama-sama memegang prinsip dakwah.
Hari
demi hari, bulan demi bulan, hubungan kami sudah sangat dekat. Sekarang bahkan
aku sudah sangat terbiasa untuk bercerita segala hal dengannya, begitupun
sebaliknya. Kami bahkan sudah sangat hafal dan memahami sifat masing-masing.
Gaya bertengkar kami pun sudah berbeda dari dulu semester awal ketika
belum saling mengerti, sekarang kami lebih sering diam dan saling menasihati
seperlunya apabila ada masalah diantara kami, ajaibnya, setelah itu kami baik
kembali. Intensitas momen pergi bersama kami pun semakin sering, tidak berdua
saja yang pasti, rame-rame tapi sangat sering. Entah datang ke acara himpunan
bersama, backpacing (kami berdua mempunyai hobi yang sama), bahkan ke
acara seminar pun bersama.
Kalau
kau tanya apakah aku bahagia dengan semua momen itu? Aku tentu sangat bahagia.
Tapi kalau kau tanya apakah aku merasa nyaman dengan perasaan bahagiaku? Tentu
saja akan kujawab tidak!
Aku
sadar ini sudah keterlaluan. Aku mengerti aku sudah tidak pantas disebut
akhwat. Hubungan kami seperti orang pacaran yang tanpa status. Tapi aku tentu
tidak bisa mengatakan perasaanku kepada Galih. Ternyata kepahaman itu tidak
menjamin ketaatan.
Aku
berusaha untuk melawan perasaan itu. Aku bangun benteng tak kasat mata dalam
hatiku untuk menghalau serangan perhatian darinya. Aku mencoba untuk mengurangi
interaksi dengannya. Aku terus berdoa agar dihilangkan perasaan tidak halal
ini. Ya aku sudah melakukan itu semua. Dan aku gagal.
“Ya
Robb…aku lelah dengan perasaan ini. aku lelah terus membangun benteng dalam
hatiku, lalu hancur, kubangun lagi, kemudian hancur lagi, begitu seterusnya.
Aku lelah menekan otakku agar tidak banyak memutar kenangan dengannya. Dia
adalah ujian bagiku, dan aku ujian baginya. Kalau kau meridhoi kami,
segerakan pernikahan kami agar tidak terlalu banyak mencicipi rasa yang belum
halal ini, tapi kalau memang Kau tidak ridho, jauhkan perasaan ini Ya Robb…”
aku berdoa pada sepertiga malam terakhir. Sudah 1 minggu terakhir ini aku
selalu berdoa tentangnya. Tentang kelelahanku menahan rasa. Tentang
ketarberdayaanku melawan hati. Semoga Dia mendengarkan rapalan doaku, harapku.
Pada
akhirnya, kami memutuskan membungkam rapat-rapat perasaan ini. walaupun ketika
aku bertemu Galih, aku merasa hati kami berinteraksi, dalam diam. Sorot mata
kami sudah banyak bercerita tentang perasaan satu sama lain. Ternyata bahasa
isyarat itu sederhana. Dia tidak perlu kata untuk berkata, dan tidak perlu
aksara untuk bicara.
Konsep
cinta dalam diam ini memberiku pemahaman baru bagiku, kalau kau mencintai
seseorang yang belum halal untukmu, cukup serahkan hatimu kepadaNya dan biarlah
Dia menyelesaikan kisah cintamu dengan tanganNya. rindumu harus kamu bungkam
dengan doamu, cintamu harus kamu tahan dengan diammu.
Bagaimana
dengan Nayla? Aku rasa dia masih sama seperti dulu. Bertahan dalam kebisuan
ini. Sorot matanya ketika menatap Galih masih sama, bercerita banyak hal
tentang pilunya mencintai dalam diam, senyumnya selalu terkembang sempurna
ketika berjumpa dengannya, bahkan kekesalannya pun terselip perasaan bahagia.
Ajaib memang orang yang jatuh cinta itu. Seperti kami, aku, Galih dan Nayla,
yang dengan diam memutuskan membungkam perasaan kami dalam-dalam.
No comments:
Post a Comment